“Bagi masyarakat yang ingin melakukan tindakan perawatan harus mengetahui dampak positif dan negatif teknologi kecantikan yang digunakan saat ini. Juga harus diperhatikan dokter yang menangani. Bedah kecantikan harus ditangani dokter spesialis bedah dengan alat yang memadai karena suntik dengan zat yang dimasukkan ke tubuh akan berpengaruh di masa depan,” tuturnya.
Harus Diawasi
Senada dengan Hasbullah, Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Marius Widjajarta mengatakan pembedahan untuk kecantikan memang berbeda dengan pembedahan biasa untuk orang sakit (bedah rekonstruksi) seperti bibir sumbing atau pasca-kecelakaan. Menurutnya bedah kecantikan dilakukan kepada orang sehat yang tidak memiliki urgensi apa pun.
“Karena itu sebaiknya sebelum melakukan operasi, lakukan banyak konsultasi. Yakin jika itu ialah dokter ahli bedah, bukan yang lain dan perawatan nonbedah juga harus dilakukan oleh dokter spesialis kulit yang jelas latar belakangnya,” ujarnya.
Dia menambahkan, perawatan nonbedah yang sifatnya menanam sesuatu ke tubuh pasien juga seharusnya dilakukan dokter bedah.
Pemerintah dalam hal ini dinas daerah yang harus tegas mengawal klinik kecantikan yang bukan dilakukan oleh dokter bedah dan dokter kulit. Menurut Beta Subakti, jumlah dokter bedah plastik di Indonesia masih terbilang sedikit dari kebutuhan yang ada dan semakin meningkat. Saat ini tercatat hanya 250 dokter bedah plastik yang tersebar di beberapa kota.
Beta membandingkan dengan Korea Selatan yang berpenduduk 50 juta jiwa, tetapi Negeri Ginseng itu memiliki 2.000 dokter bedah plastik. Kondisi ini yang membuat Korea sebagai salah satu negara tujuan banyak orang untuk melakukan operasi kecantikan.
“Di Indonesia ada 4.000 dokter bedah, tetapi tidak ada setengahnya yang memilih menjadi dokter bedah plastik. Negara berkembang memang seperti itu, padahal pasarnya banyak sekali,” tambahnya. (*)